“Barang siapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan ini.” (Yoh. 8:7)
Teman-teman, seberapa sering kita menghakimi diri sendiri dan orang lain? Penulis yakin, hal itu sering kita lakukan. Melalui bacaan pertama dan Injil, kita diingatkan kembali mengenai perilaku menghakimi orang lain. Ketika melihat feed Instagram para artis atau teman berfoto dengan barang mewah, kita cenderung berpikir bahwa yang bersangkutan adalah orang kaya dan tentu tidak lagi memiliki beban hidup. Contoh lain, ketika mendengar gosip tidak enak, kita terkadang langsung percaya, kemudian bersikap buruk kepada orang yang digosipkan, tanpa tahu seluruh kebenarannya. Di samping menghakimi orang lain, kita secara tidak sadar juga bisa melakukannya pada diri sendiri. Misalnya, kita berpikir tidak perlu bimbingan setelah lulus kuliah, merasa sudah menjadi ahli kitab karena ikut kelas kitab suci, atau melabeli diri sebagai orang gagal karena hasil yang tidak memuaskan dalam studi maupun pekerjaan. Semua contoh yang disebutkan merupakan bentuk kesombongan manusia karena merasa telah mengenal subjek yang dihakimi secara menyeluruh. Maka dari itu, kita diingatkan bahwa Tuhanlah yang layak menjadi hakim bagi tiap-tiap orang karena hanya Dia yang mengenal ciptaan-Nya secara utuh. Mari berusaha mengasihi diri sendiri dan sesama, bukan menjadi “hakim”. 

Kita lebih sering menghakimi atau mengasihi? Doa (†):Allah Bapa di surga, ampunilah kami yang sering menghakimi diri kami dan sesama. Berilah kami rahmat-Mu agar lebih mampu mengasihi siapa pun. Amin.